۞ ﺒﺴﻢ ﺍﷲ ﺍﻠﺮﺤﻤٰﻦ ﺍﻠﺮﺤﯿﻢ ۞
Panduan Penulisan Artikel Islami
Oleh : Abul Fudhail Al-Gharantaliy*
Ada beberapa hal yang sering kita lalaikan ketika kita menuliskan atau mengutipkan artikel islami, yang mungkin bisa berdampak buruk bagi diri kita (penulis/pengutip) ataupun para pembaca. Adapun adab-adabnya:
1. Mengikhlaskan niat dalam menulis artikel hanya karena Allåh Ta’ala
Dalam segala aspek peribadatan kita kepada Allåh subhanahu wa ta’ala, ada satu hal yang kita harus kita pegang teguh dan tidak boleh kita lepas, yaitu, mengikhlaskannya karena dan hanya untuk Allah Ta’ala. Dan seseorang tidak akan mendapatkan ganjaran apapun jika amal ibadahnya ia tidak ikhlaskan karena untuk mencari Ridhå Allah semata. Dalil-dalil mengenai hal ini sangat banyak baik itu dari ayat-ayat al-qur’an maupun hadits nabi shållallåhu ‘alaihi wa sallam.
Diantaranya dalam firman-Nya yang artinya,
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali agar menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itlllah agama yang lurus.” (QS. AI-Bayyinah: 5)
2. Tulisan sekiranya berasaskan atau berlandaskan ‘ilmuYakni, tulisan atau artikel islami yang hendak dipublikasikan atau dikutip haruslah berlandaskan dari nash-nash (al-qur’an dan as-sunnah) yang shåhih. Bukan berasal dari terkaan, kabar burung, dan lain-lain.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, yang artinya;
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak memiliki ilmunya sesungguhnya pendengaran, pengelihatan, dan hati seluruhnya itu akan ditanya tentangnya” [al Isra:36]
Dalam menafsirkan ayat ini, Qatadah mengatakan: “Jangan kamu katakan bahwa kamu melihat sementara kamu tidak melihat, mendengar sementara kamu tidak mendengar, mengetahui sementara kamu tidak mengetahui karena Allah akan bertanya kepadamu tentang itu semua.”
Ibnu Katsir mengatakan: “Kandungan tafsir yang mereka (para ulama) sebutkan adalah bahwa Allah melarang untuk berbicara tanpa ilmu bahkan sekedar dengan sangkaan yang itu hanyalah perkiraan dan khayalan [Tafsir Ibnu Katsir:3/43].
[Dinukil dari makalah Ust. Qåmar ZA, lc, "Antara Al Qur'an, Al Hadits dan 'Manqul", http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=975]
3. ‘Ilmu yang disampaikan harus berasal dari sumber yang shåhihTerutama dalam pengutipan hadits, maka hadits yang disampaikan atau dikutip haruslah benar-benar datang dari Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wa sallam, atau dengan kata lain, hadits tersebut harus diyakini SAH (shåhih atau paling tidak hasan) untuk dapat disandarkan atas nama Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wa sallam.
Adapun ancaman dalam hal ini terdapat dalam beberapa hadits nabi shållallåhu ‘alaihi wa sallam:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallåhu ‘anhu berkata: “Rasulullah shållallåhu ‘alaihi wa sallam, bersabda, yang artinya, ‘Barangsiapa sengaja berdusta atas namaku, maka silahkan menempati tempat duduknya di Neraka’.” (HR Bukhari [103] dan Muslim dalam al-Muqaddimah [3])
Diriwayatkan dari Mughirah bin Syu’bah radhiyallåhu ‘anhu berkata, “Saya mendengar Rasulullah shållallåhu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya, berdusta atas namaku tidak sama seperti berdusta atas nama orang lain. Barangsiapa sengaja berdusta atas namaku, maka silahkan menempati tempat duduknya di Neraka’.” (HR Muslim [4])
Diriwayatkan dari Samurah bin Jundab radhiyallåhu ‘anhu, bahwa Rasulullah shållallåhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa meriwayatkan sebuah hadits, padahal dia mengetahui bahwa hadits itu dusta, maka sesungguhnya ia termasuk salah satu dari para pendusta.” (HR Muslim dalam al-Muqaddimah [I/9])
Imam Al-Baghawi råhimahullåh berkata dalam Syarhus Sunnah (I/255-256),
“Ketahuilah, bahwa berdusta atas nama Rasulullah shållallåhu ‘alaihi wa sallam merupakan kebohongan yang paling besar setelah kebohongan orang-orang kafir terhadap Allah subhanahu wa ta’ala.
Dan Rasulullah shållallåhu ‘alaihi wa sallam sendiri telah mengatakan, “Sesungguhnya, berdusta atas namaku tidak sama seperti berdusta atas nama orang lain selainku. Sesungguhnya, barangsiapa sengaja berdusta atas namaku, makan hendaknya menempatkan tempatnya Neraka.”
Oleh sebab itu, para Sahabat dan Tabi’in tidak menyukai sikap terlalu banyak menyampaikan hadits dari Nabi shållallåhu ‘alaihi wa sallam karena takut akan menambah-nambahi atau mengurangi-nguranginya atau melakukan kesalahan dalam meriwayatkannya. Sampai-sampai sejumlah Tabi’in sangat takut menisbatkan hadits secara marfu’(menyandarkan) kepada Rasulullah shållallåhu ‘alaihi wa sallam, mereka meriwayatkannya secara mauquf dari Sahabat.
Mereka mengatakan, “Dosa berdusta atas nama Sahabat lebih mudah daripada dosa berdusta atas nama Rasulullah shållallåhu ‘alaihi wa sallam, ” Di antara mereka ada yang meriwayatkan hadits musnad marfu’, hingga apabila sampai kepada sabda Rasulullah shållallåhu ‘alaihi wa sallam, ia berkata: “Beliau shållallåhu ‘alaihi wa sallam bersabda.” Ia tidak mengatakan: “Rasulullah shållallåhu ‘alaihi wa sallam bersabda.”
- ada yang berkata, “Dinisbatkan kepada beliau,’
- ada yang mengatakan, “Menurut riwayat,”
- ada yang mengatakan, “Dinukilkan dari Nabishållallåhu ‘alaihi wa sallam”
Semua itu disebabkan ketakutan mereka dalam meriwayatkan hadits dari Rasulullah shållallåhu ‘alaihi wa sallam dan karena takut terkena ancaman beliau, sebagaimana yang telah disebutkan di atas.”
[Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 187-193. http://alislamu.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1178&Itemid=67]
4. ‘Ilmu yang disampaikan harus merupakan pemahaman yang benarDan sabda Rasulullah (ﷺ): “Barang siapa berbicara tentang al Qur’an dengan akal-nya atau tidak dengan ilmu, maka hendaklah ia menyiapkan tempatnya di neraka”
(Hadist seperti ini ada dari 2 jalan, yaitu Ibnu Abas dan Jundub. Lihat Tafsir Qur’an yang diberi mukaddimah oleh Syeikh Abdul Qadir Al-Arnauth hal. 6, Tafsir Ibnu Katsir dalam Mukaddimah hal. 13, Jami’ As-Shahih Sunan Tirmidzi jilid 5 hal.183 no. 2950 dan Tuhfatul Ahwadzi jilid 8 hal. 277)
Berkata Amirul Mukminin ‘Umar Ibnul Khoththob Radhiallahu ‘Anhu:
“Para pemuja akal adalah musuh-musuh sunnah, hadits-hadits telah memberatkan mereka untuk menghafalnya, hadits-hadits itupun berpaling darinya sehingga mereka sulit untuk memahaminya, akhirnya mereka mereka berbicara dengan akalnya sehingga mereka sesat dan menyesatkan”.
(al-Ibanatussughro, diambil dari: http://www.darussalaf.or.id/myprint.php?id=1383)
Maka dalam menyampaikan perkara agama, tidak hanya sebatas mengeluarkan ayat-ayat tertentu, dan hadits-hadits tertentu, tapi ada yang lebih penting dari itu, yaitu cara memahaminya pun harus dengan cara pemahaman yang benar, yaitu tidak memahaminya sendiri-sendiri (dengan akal/rasio/logika/perasaan
kita), tapi kembalikanlah pemahaman ‘ilmu tersebut sebagaimana para shahabat memahaminya.
Kenapa kita mengembalikan pemahaman ayat/hadits kepada pemahaman shahabat? Karena pada merekalah diturunkan al-qur’an dan as-sunnah pertama kalinya, tidak hanya itu, kepada mereka pula keduanya diajarkan secara langsung diatas bimbingan Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wa sallam.
Dan juga, dalam memahami ‘ilmu, manusia berbeda-beda cara memahaminya dan menafsirkannya, si A bisa menafsirkan begini, si B bisa menafsirkan yang lain dan seterusnya. Maka solusi agar pemahaman itu benar dan sesuai dengan konteks yang dimaui Allah dan Rasul-Nya, tak lain yaitu dengan mengembalikan kepada ahlinya. Maka siapa lagi yang paling paham mengenai agama ini selain para shahabat?!
Ibnu Abdil Barr meriwayatkan dalam Jaami’ul Bayaan Juz 1 no. 97, bahwa Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhumaa berkata:
“Barangsiapa di antara kalian yang ingin mengambil sunnah, maka hendaklah ia mengambil sunnah dari mereka yang telah wafat, karena sesungguhnya orang yang masih hidup tidak akan aman dari fitnah.”
“Orang-orang yang telah wafat ini adalah para shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka itu adalah generasi terbaik dari umat ini, generasi paling bersih hatinya, paling dalam ilmunya, paling sedikit takallufnya (membuat atau mengadakan sesuatu).”
“Mereka adalah kaum yang telah dipilih oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk menemani Nabi-Nya serta menegakkan agama-Nya.”
“Karena itu, pahami keutamaan dan kemuliaan mereka, ikuti mereka dalam setiap atsar mereka, berpegang teguhlah kepada akhlaq dan agama mereka semampu kalian, karena sesungguhnya mereka itu berada di atas petunjuk yang lurus.”
Beliau radhiyallaahu ‘anhu juga pernah berdo’ a:
“Ya Allah, tambahkanlah kepada kami keimanan, keyakinan, dan pemahaman (yang benar).”
[Atsar ini diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Imam Ahmad dalam As-Sunnah (I/368, no. 797) dan al-Laalikai dalam Syarah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah (no. 1704). AI-Hafizh Ibnu Hajar menyatakan sanadnya shahih dalam Fat-hul Baari (I/48).]
[Sumber; http://baiturrahmah.blogsome.com/2007/05/23/makalah-daurah-muslimah-x-menuntut-ilmu-jalan-menuju-syurga/ (dengan beberapa perubahan dan penambahan), yang disampaikan dalam Daurah Muslimah X di Masjid Imam Ahmad bin Hanbal, Sabtu, 24-25 Rabiul Akhir 1428/ 12-13 Mei 2007]
Maka dengan ini, tidak boleh kita menyampaikan sesuatu melainkan kita memahami apa yang kita tulis/kutipkan dengan pemahaman yang benar, bukan pemahaman yang menyimpang, sehingga dapat menjerumuskan kita dalam kesesatan dan dapat menyesatkan orang-orang disekitar kita dengan menyebarkan fitnah syubhat kepada orang-orang yang membacanya.
(insya Allåh bersambung…)
Source: http://achfan.wordpress.com/2009/08/09/panduan-penulisan-artikel-islam/