Thursday, April 07, 2011

Adab menulis artikel islami (2)

۞ ﺒﺴﻢ ﺍﷲ ﺍﻠﺮﺤﻤٰﻦ ﺍﻠﺮﺤﯿﻢ ۞

Panduan bagi pembaca/penulis artikel islami

Oleh : Abul Fudhail Al-Gharantaliy*

Artikel ini melanjutkan tulisan sebelumnya, yakni adab-adab dalam menulis artikel islami, judulnya ana ganti menjadi “panduan bagi pembaca/penulis artikel islami” dikarenakan selain untuk dijadikan bahan pelajaran bagi penulis, ana harapkan artikel ini juga dijadikan bahan pelajaran untuk para pembaca untuk lebih selektif dan kritis dalam memilah artikel-artikel islami, dan tidak cepat ‘jatuh hati’ dengan keindahan bahasa yang ditawarkan didalamnya, tapi ‘kosong’ dari ‘ilmu syar’i yang shåhih.

5. Memeriksa kebenaran (tabayyun) informasi yang diterima

Inilah kaidah penting dalam menerima informasi atau bahkan menyampaikan informasi. sehingga kita tidak sembarangan mengutipkan informasi yang belum jelas kebenarannya, apalagi sampai menyampaikannya kepada orang lain.

Allåh subhanahu wa ta’ala berfirman, yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kalian tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kalian menyesal dengan perbuatan itu.” (Al-Hujurat: 6)

Al-Imam Muslim rahimahullah menjelaskan: “Ketahuilah, semoga Allah memberi taufik kepadamu, bahwa sesungguhnya wajib bagi setiap orang untuk mengetahui (perbedaan) antara riwayat-riwayat yang shahih dan yang berpenyakit, antara perawi yang dipercaya penukilannya dengan perawi yang tertuduh (berdusta). Jangan pula dia meriwayatkan kecuali yang dia ketahui keshahihan makhraj (tempat keluar haditsnya) dan terjaga penukilannya. Dan dia berhati-hati terhadap (riwayat) yang dinukil dari orang yang tertuduh dan penentang dari kalangan ahli bid’ah.”

Lalu beliau menyebutkan dalil atas apa yang beliau sebutkan, diantaranya ayat yang menjadi pembahasan kita, dan diantaranya pula firman-Nya, yang artinya:

“Dari saksi-saksi yang kamu ridhai.” (Al-Baqarah: 282)

Dan firman-Nya:

“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu.” (At-Thalaq: 2)

Lalu beliau berkata:

“Maka ayat-ayat ini menunjukkan apa yang kami sebutkan bahwa kabar seorang yang fasiq gugur dan tidak diterima, dan tertolaknya persaksian orang yang tidak adil.”

Lalu beliau pun berdalil dengan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:

“Barangsiapa memberitakan dariku satu hadits, dan dia menyangka bahwa itu dusta, maka dia termasuk salah satu dari para pendusta.” (Lihat Muqaddimah Shahih Muslim, 1/8-9)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk tatsabbut (mengecek) atas berita seorang yang fasiq agar berhati-hati, sehingga dia tidak memberi hukum berdasarkan perkataannya. Sehingga di saat itu dia (si fasiq) berdusta ataukah keliru, maka seorang hakim pun berpegang dengan ucapannya dan mengikuti jejaknya. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang dari mengikuti jalan orang-orang yang merusak.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/209)

Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata:

“(Ayat ini) termasuk adab yang sepantasnya diamalkan bagi orang yang berakal. Yakni apabila ada seorang yang fasiq mengabarkan suatu berita agar mengecek (kebenaran) beritanya (terlebih dahulu), jangan begitu saja mengambilnya.”

“Sebab yang demikian ini bisa menyebabkan bahaya besar dan menjatuhkan ke dalam dosa. Karena apabila beritanya disejajarkan dengan kedudukan berita seorang yang adil dan jujur, lalu menghukuminya berdasarkan konsekuensi (riwayat seorang adil), maka akan terjadi kerugian jiwa dan harta tanpa hak dengan sebab berita tersebut sehingga menyebabkan penyesalan.”

“Yang wajib dalam menyikapi berita seorang yang fasiq adalah meneliti dan mencari kejelasan. Apabila ada penguat yang menunjukkan kebenarannya, maka diamalkan dan dibenarkan. Dan apabila (ada penguat) yang menunjukkan kedustaan, maka didustakan dan tidak diamalkan. “

“Maka di dalamnya terdapat dalil tentang diterimanya berita seorang yang jujur dan berita pendusta adalah tertolak, sedangkan berita seorang yang fasiq disikapi tawaqquf (abstain) sebagaimana yang telah kita jelaskan.”

“Oleh karenanya, para ulama salaf menerima banyak riwayat dari Khawarij yang dikenal kejujurannya, walaupun mereka termasuk orang-orang yang fasiq.”

(Taisir Al-Karim Ar-Rahman hal. 800)

[sumber: http://www.darussalaf.or.id/myprint.php?id=448]

Apa sajakah yang diperiksa dalam artikel tersebut?

1. Kebenaran informasi yang dibawanya (secara umum)
2. Keshåhihan hadits-hadits yang dibawakan,
3. Benarnya pemahaman yang dibawa penulis dalam memahami/menafsirkan al-qur’an dan al-hadits yang shåhih yang ia bawakan tersebut. (baca pada artikel bagian pertama)

Barulah ketika kita memastikan ketiga hal itu ada dalam satu artikel, maka kita menerima dan mengambil ‘ilmu darinya, apakah hanya untuk diri kita, ataupun untuk kita kutipkan kembali.

Ingatlah akan sabda Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wa sallam, yang artinya:

“Sesungguhnya salah satu tanda dekatnya hari Kiamat adalah ilmu diambil dari kaum ashaaghir”

(HR Ibnul Mubarak dalam kitab az-Zuhd [61], dari jalur tersebut al-Lalika-i meriwayatkannya dalam kitab Syarah Usbuul I’tiqaad Ahlis Sunnah [102], ath-Thabrani dalam al-Kabiir [XXII/908 dan 299], al-Harawi dalam kitab Dzammul Kalaam [11/137], al-Khathib al-Baghdadi dalam kitab al-Faqiih wal Mutafaqqih [11/79], Ibnu ‘Abdil Barr dalam kitab Jaami’ Bayaanil ‘llm [1052]).

Ibnul Mubarak berkata dalam kitab az-Zuhd [halaman 21 dan 281], “Yang dimakud kaum ashaaghir adalah ahli bid’ah.”

Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali berkata, “Kaum ashaaghir adalah ahli bid’ah dan pengikut hawa nafsu yang berani mengeluarkan fatwa meski mereka tidak memiliki ilmu. Hal ini telah diisyaratkan dalam hadits yang berbicara tentang terangkatnya ilmu.”

[Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 1/223-228, http://alislamu.com/index.php?Itemid=67&id=1229&option=com_content&task=view]

Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata, “Sesungguhnya, ilmu ini adalah agama, maka periksalah dari siapa engkau mengambil ajaran agamamu”

6. Memperhatikan amanah ilmiyyah

Yaitu dengan selalu menyertakan darimana ia mengambil informasi tersebut. Hal ini sangat bermanfaat terutama untuk pembaca, agar mereka dapat mengetahui sumber asli penulisan, sekaligus mereka dapat memeriksa kebenaran informasi tersebut kepada penulis asli.

Hal lain yang bermanfa’at disini yaitu adanya pengakuan ilmiyyah, yang mana, apa-apa yang kita tulis bukan berasal dari hasil ilmiyyah kita sendiri, melainkan hasil karya orang yang selayaknya kita hargai usahanya.

Cobalah kita perhatikan, jika kita menuliskan,

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya:

“Barangsiapa dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Dia akan memberikan pemahaman agama kepadanya.” [Hadits hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2322), Ibnu Majah (no. 4112), dan Ibnu ‘Abdil Barr (I/135, no. 135), dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Shahiih at-Targhib wat Tarhiib (no. 74). Lafazh ini milik at-Tirmidzi]

Maka pertanyaan akan muncul, darimanakah kita mendapatkan riwayat-riwayat tersebut lengkap dengan nomor-nomor dan kitab-kitab ulama yang meriwayatkan? apakah dari hasil hafalan kita?

Maka sebagai amanat ilmiyyah, kita tampilkanlah sumber darimana kita mendapatkan informasi riwayat hadits diatas, dengan mencantumkan di bagian akhirnya atau di footenotes.

perlu juga diperhatikan, selain mengakui karya ilmiyyah orang, kita juga harus mematuhi amanat yang diamanahkan penulis asli. contohnya, apabila mereka menuliskan dibawahnya:

“Tidak diperkenankan merubah isi artikel baik itu penambahan ataupun pengurangan tanpa seizin penulis”

Maka yang kita lakukan adalah meminta izin apabila ingin meng-edit isi artikel tersebut dan memberikan ‘draft’ hasil editan artikel tersebut kepada penulis asli, atau tinggal mengcopy-paste tulisannya saja sesuai dengan persyaratan yang ditetapkannya. Terdapat dalil dari hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal ini, yang artinya:

“Kaum muslimin itu berpegang pada persyaratan mereka”.

[HR Al-Bukhari dalam kitab As-Sunan Al-Kubra VII/248, Abdurrazzak dalam Mushannaf-nya VIII/377, Al-Hakim II/57 nomor 2309, Ad-Daraquthni II/606 nomor 2845, Abu Dawud 3594. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Irwaa'ul Ghaliil V/142 nomor 1303]

Juga sabda beliau yang lain, yang artinya:

“Tidak dihalalkan harta seorang muslimin kecuali yang diberikan dari ketulusan hatinya yang dalam”.

[HR Al-Baihaqi dalam kitab Sunnannya VIII/182, Ahmad V/276, nomor 15488, Ad-Daraquthni II/602 nomor 2849-2850, Abu Ya'la III/140 nomor 1570. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Irwaa'ul Ghaliil nomor 1459]

[Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta, Fatwa Nomor 18453, dan Pertanyaan ke-2 dari Fatwa Nomor 18845, Disalin dari Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyyah Wal Ifta, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Jual Beli, Pengumpul dan Penyusun Ahmad bin Abdurrazzaq Ad-Duwaisy, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i, http://www.almanhaj.or.id/content/1569/slash/0]

Maka sudah sepantasnyalah kita menjadi orang yang amanah dalam mengutipkan artikel, dengan tidak melanggar persyaratan yang diamanahkan kepada kita.

(Bersambung Insya Allåh)

source: http://achfan.wordpress.com/2009/08/09/adab-menulis-artikel-islami/

No comments :

Post a Comment

Komentar anda amat dihargai, terima kasih.